Kamis, 24 Juni 2010

khutbah tentang anak soleh

KHUTBAH PERTAMA
اَلسَّلاَ مُ عَلَيْكُمْ ……
اَ ْلحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ قَدَّرَ عَلَيْنَا بِالْجَمَاعَةِ وَالصَّلاَ ةُ وَالسَّلاَمُ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللَّهِ وَعَلَي اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَمِنْ تَبِعَهُ اِلَي يَوْمِ الْقِيَامَةِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَنَبِيَّ بَعْدَهُ.أّمَّا بَعْدُ.فَيَااَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِالتَّقْوَي االلَّهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ أَعُوْذُ بِا للَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ :•                (النساء: 9)

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kepada Allah yang maha ghofur, shalawat dan salam marilah kita limpah curahkan kepada baginda kita yang menjadi uswah bagi umatnya a'ni habibana wanabiyana Muhammad SAW, tidak lupa kepada para keluarganya, para sahabatnya, dan tabin-tabiin yang turut setia pada ajarannya sampai hari kiamat termasuk ummatnya.

Sidang Jum'ah rahimakumullah
Khotib berwasiat khusus kepada khotib umumnya kepada semua ahli jumat, untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Salah satu untuk bertaqwa kepada Allah adalah menjaga diri dan ahli kita sebagaimana Allah berfirman dalam al-qur'an :
يَااَيُّهَالَّذِيْنَ اَمَنُوْا قُوْا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا ..............
Artinya :"Hai orang-orang yang beriman jagalah diri kamu dan ahli kamu masuk api neraka". (Q.S. )
Jadi kita sebagai orang yang beriman harus bisa menjaga diri jangan sampai melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT, setelah itu ahli kita, siapa? Yaitu Saudara, sanak keluarga dan lain sebagainya terutama anak kita. Yang mana anak adalah buah hati bagi kedua orang tuanya yang sangat disayangi dan dicintainya. Sewaktu bahtera rumah tangga pertama kali diarungi, maka pikiran pertama yang terlintas dalam benak suami istri adalah berapa jumlah anaknya kelak akan mereka miliki serta kearah mana anak tersebut akan dibawa, apakah ke arah yang ma'rup? Apakah ke arah yang mungkar?

Hadirin Rohimakumullah
Setiap orang tua berkeinginan anaknya menjadi anak yang soleh solehah, tujuannya agar setelah dewasa mereka dapat membalas jasa dan membahagiakan orang tuanya. Namun untuk mencapai hal tersebut harus ada usaha yang benar-benar sebagaimana tuntunan yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Namun ada saja orang tua karena salah mengarahkannya bahwa cara untuk membalas jasa dan membahagiakannya yaitu dengan materi, sehingga orang tua berkeinginan anaknya menjadi bintang film (artis), photo model dan lain sebagainya, walaupun kehormatan hilang, bergaul bebas, berpeluk-pelukan mereka tidak peduli asalkan mendapatkan uang yang banyak, Sedangkan ke imanan dan keyakinannya tidak dibina dengan betul-betul, yang pada akhirnya keyakinan dan keimanan akan melemah. Apakah kita menginginkan anak-anak kita menjadi lemah keyakinan dan keimannya juga jauh dari agamanya yang kelihatannya bahagia di dunia namun menderita di akhirat? Tentu tidak. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :
•               
Artinya :“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka”. (An Nisa : 9).
Pengertian lemah dalam ayat ini adalah lemah iman, lemah fisik, lemah intelektual dan lemah ekonomi. Oleh karena itu selaku orang tua yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya, maka mereka harus memperhatikan keempat hal ini. Pengabaian salah satu dari empat hal ini adalah ketimpangan yang dapat menyebabkan ketidak seimbangan pada anak.
Imam Ibnu Katsir dalam mengomentari pengertian lemah pada ayat ini memfokuskan pada masalah ekonomi. Beliau mengatakan selaku orang tua hendaknya tidak meninggalkan keadaan anak-anak mereka dalam keadaan miskin. (Tafsir Ibnu Katsir : I, hal 432). Dan terbukti berapa banyak kaum muslimin yang rela meninggalkan aqidahnya (murtad) di era ini akibat keadaan ekonomi mereka yang dibawah garis kemiskinan.



Jamaah jum’at rahimakumullah
Maka dari itu untuk mempunyai anak yang soleh kita harus mendidik anak-anak sejak dini, pertama oleh orang tua, diajarkan bagaimana caranya shalat, puasa dan lain sebagainya, kemudian di sekolahkan ke jenjang pendidikan yang berdomisi ke islaman, agar anak kita bisa tahu mana perintah, mana larangan mana yang halal dan mana yang haram. Sehingga apabila sudah tercapai apa yang kita cita-citakan yaitu anaknya menjadi anak yang soleh maka berbahagialah, bukan saja bahagia di dunia tetapi akan bahagia di akhirat. Bahkan kita akan mendapat amal yang terus mengalir walaupun kita sudah meninggal. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, :
وَعَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّي عَلَيهِ وَسَلَّمَ : إِذَا مَاتَ بْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ، صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ, رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Artinya :“Jika wafat anak cucu Adam, maka terputuslah amalan-amalannya kecuali tiga: Sadaqah jariah atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang shalih yang selalu mendoakannya.” (H.R.Muslim).
Dalam hadits ini sangat jelas disebutkan ciri anak yang shalih adalah anak yang selalu mendoakan kedua orang tuanya. Sementara kita telah sama mengetahui bahwa anak yang senang mendoakan orang tuanya adalah anak sedari kecil telah terbiasa terdidik dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan,melaksanakan perintah-perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala, dan menjauhi larangan-laranganNya. Anak yang shalih adalah anak yang tumbuh dalam naungan DienNya, maka mustahil ada anak dapat bisa mendoakan orang tuanya jika anak tersebut jauh dari perintah-perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala dan senang bermaksiat kepadaNya. Anak yang senang bermaksiat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala, jelas akan jauh dari perintah Allah dan kemungkinan besar senang pula bermaksiat kepada kedua orang tuanya sekaligus.
Oleh karena itu kalu kita menginginkan anak yang soleh kita harus jaga dengan sebaik-baiknya agar anak kita tidak terjerumus pada jurang kema'siatan.

Jama'ah jum’at rahimakumullah
Itu saja yang bisa khotib sampaikan untuk meningkatkan keimana dan ketakwaan kepada Allah yaitu dengan cara menjaga diri dan ahli kita, mudah-mudahan kita menjadi oranng-orang yang bahagia dunia dan akhirat. Amiin.

بَارَكَ اللَّهُ لِي وَلَكُمْ بِاْلاَيَاتِ وِالذِّكْرِ الْحَكِيْمْ وَتَقّبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتُهُ اِنَّهُ هَوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمْ"

KHUTBAH KEDUA

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ اَنْعَمَ عَلَيْنَا بِنِعْمَتِ اْلاِيْمَانِ وَاْلاِسْلاَمِ وَالصَّلاَ ةُ وَالسَّلاَمُ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ اْلاَنَامِ وَ َعَلَي اَلِهِ وَصَحْبِهِ يُنَابِيْعُ الْعُلُوْمِ وَالْحِكَامِ. أَمَّا بَعْدُ. فَيَااَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِالتَّقْوَي االلَّهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ أَعُوْذُ بِا للَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِي وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَيْهِ وَبَارِكْ عَلَيْهْ, اَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ.

4 macam yang akan ditanya oleh ALlah nanti diakhirat

اَلسَّلاَ مُ عَلَيْكُمْ ……
اَ ْلحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ قَدَّرَ عَلَيْنَا بِالْجَمَاعَةِ وَالصَّلاَ ةُ وَالسَّلاَمُ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللَّهِ وَعَلَي اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَمِنْ تَبِعَهُ اِلَي يَوْمِ الْقِيَامَةِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَنَبِيَّ بَعْدَهُ.أّمَّا بَعْدُ.فَيَااَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِالتَّقْوَي االلَّهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ أَعُوْذُ بِا للَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ :

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kepada Allah SWT, yag maha Ghofur yang alhamdulillah berkat qudrot dan irodatnya kita bisa berkumpul dimakom yang dimuliakan Allah SWt, shlawat dan salam semoga selamanya terlimpah curahkan kepada junjunan kita yakni habibana wanabiyana muhamad SAW, tidak lupa kepada keluarganya, para sahabatnya dan tabi’in-tabi’in yang turut setia pada ajarannya sampai hari kiamat, amiin.

Yang saya hormati para alim ulama juama
Yang saya hormati aparatur pemerintah setempat
Dan tak lupa Hadirin seiman seagama rohimakumullah
Hidup di alam dunia ini memang suatu perjuangan, kadang-kadang kita dihadapkan masalah yang menggembirakan dan dakang kala kita dihadapkan pada hal yang sulit, sebagai manusia kita harus sanggup menghadapinya.
Hadirin ada empat perkara yang akan ditanyakan oleh malaikat :
لاَتَزُوْلُ قَدَمَا ابْنِ اَدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّي يُسْأَلُ عَنْ اَرْبَعِ خَصَالٍ : عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا اَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا اَبْلاَهُ وَ عَنْ مَالِهِ مِنْ اَيْنَ الكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا اَنْفَقَهُ وَمَاذّا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ
Artinya :”Tidak henti-henti kami manusia itu nanti berdiri pada hari kiamat di hadirat Tuhannya, sehingga ia akan ditanya empat perkara, pertama umurnya, untuk apa dihabiskannya. Dua masa mudanya untuk apa digunakannya. Tiga hartanya, darimana diperolehnya dan untuk apa dibelanjakannya. Empat, amalan apa yang telah dilakukannya sesuai dengan ilmunya.”
1. Umur (amal)
Umur kita digunakan untuk apa? Kalau umur kita digunakan untuk melakukan hal yang baik.
(amal) perbuatan ada 2 :
a. Perbuatan kepada Allah
b. Perbuatan sesama manusia
Maksud perbuatan kepada Allah yaitu selalu melaksanakan apa yang diperintahkan kepada kita dan yang dimaksud perbuatan sesama manusia yaitu selalu berbuat baik tidak dholim kepada yang lain.

2. Badan
Mungkin hadirin bertanya apakah badan kita akan dipertanyakan? Jelas akan dipertanyakan, karena seluruh anggota badan kita itu merupakan pemberian dari Allah, oleh karena itu mari kita gunakan anggota badan ini untuk selalu melakukan aktivitas yang diridhoi oleh Allah dengan cara digunakan untuk beribadah kepada Allah.

3. Ilmu
Menuntut ilmu itu wajib hukumnya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw :

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ ........ رَوَاهُ مُسْلِمْ
Baik laki-laki atau perempuan, yang miskin atau yang kaya, menuntut ilmu itu wajib hukumnya. Tidak ada alasan lagi, maka pantaslah Allah janjikan dalam al Qur’an Surat al Mujadalah ayat 11 :

         

Artinya :

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

Tapi kita harus menggunakan ilmu itu dengan baik dan harus mengamalkan kepada yang lain, jangan sampai ilmu yang kita dapat tidak diamalkan.

4. Harta
Memang sangat risih kalau kita membicarakan tentang harta, alangkah hinanya orang yang hidupnya hanya mengumpul-ngumpulkan harta dunia belaka. Kalau orang yang mencari harta lalu harta ini dinafkahkan dijalan Allah, itu merupakan harta yang sangat baik. Tapi kalau harta itu dinafkahkan dijalan syetan, maka akan mendorong pemiliknya terjerumus kejurang api neraka jahannan. Na’udzubillahi min dzalik.
Demikianlah ceramah dari saya, terima kasih atas segala perhatiannya dan mohon maaf atas segala kekurangannya.

باِللهِ التَّوْفِقْ وَ الْحِدَايَةْ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

empat macam yang akan membawa manusia menjadi bahagia di dunia dan akhirat


اَلسَّلاَ مُ عَلَيْكُمْ ……
اَ ْلحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ قَدَّرَ عَلَيْنَا بِالْجَمَاعَةِ وَالصَّلاَ ةُ وَالسَّلاَمُ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللَّهِ وَعَلَي اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَمِنْ تَبِعَهُ اِلَي يَوْمِ الْقِيَامَةِ.أّمَّا بَعْدُ.فَيَااَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِالتَّقْوَي االلَّهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ أَعُوْذُ بِا للَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ :لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَئَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ.

Puji takan pernah mati menghiasi hati para insani untuk Allah robul izati puja takan syukur takan pernah luntur terkubur dalam lubuk hati manusia melainkan marilah kita panjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, shalawat dan salam marilah kita limpah curahkan kepada baginda kita yang menjadi uswah bagi umatnya a'ni habibana wanabiyana Muhammad SAW, tidak lupa kepada para keluarganya, para sahabatnya, dan tabin-tabiin yang turut setia pada ajarannya sampai hari kiamat termasuk ummatnya.

Yang saya hormati para alim ulama ju’ama
Yang saya hormati para aparatur pemerintah setempat
Dan tak lupa hadirin seiman seagama rohimakumullah
Alahdulullah pada kesempatan kali ini kita semua bisa bertatap muka, bermuajahah, berkumpul dalam tempat yang mulia ini mudah-mudahan dengan hadirnya kita di sini mendapatkan rohmat dan magfirullah dari Allah SWT,

Kamum muslimin rohimakumullah
Insyaallah pada kesempatan kali ini saya akan membawakan tema emat macam yang akan membawa manusia menjadi bahagia di dunia dan akhirat.
Namun sebelumnya saya ingin bertanya, apakah para hadirin ingin bahagia atau celaka?, pasti jawabannya ingin bahagia, walaupun orang yang suka maksiat, suka minum miras, orang yang suka korupsi apabila ditanya ingin bahagia atau celaka, maka jawabannya ingin bahagia namun karena jalannya yang salah maka kebahagiaan tersebut tidak jadi karena jalanya yang salah.
Dari itu Rasul mengajarkan sebagaimana dalam haditsnya :
اَرْبَعٌ مَنْ أُعْطِيَهُنَّ فَقَدْ أُعْطِيَ خَيْرَ الدُّنْيَا وَاْلاَخِرَةِ, لِسَانٌ ذَاكِرٌ وَ قَلْبٌ شَاكِرٌ وَبَدَنٌ عَلَي الْبَلاَءِ صَابِرٌ وَزَوْجَةٌ لاَتَبْغِيْهِ خَوْنًا فِيْ نَفْسِهَا وَلاَ مَالِهِ. (رواه الطبراني عن ابن عباس).
Bahwa ada empat macam yang apabila empat macam tersebut kita miliki maka kita akan diberikan kebaikan atau kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat :
Pertama : lisanun zdakirun yaitu lisan yang selalu dzikir, selalu ingat kepada Allah swt, di manapun, kapanpun kita berada kita selalu ingat kepada Allah swt, karena dengan dzikir hati akan terasa tenang sebagaimana firman Allah dalam al-qur’an :
اَلاَ بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَؤِنُّ الْقُلُوْبِ
Artinya :”Ingatlah dengan dikir maka hati kita akan tenang.”
Dua, kita akan diberikan kebahagiaan yaitu waqolbun syakirun hati yang selalu bersyukur, artinya kita selalu bersukur apabila Allah memberikan nikmat baik kecil maupun besar, kepada siapa kita bersyukur tentu saja kepada yang memberikan nikmat siapa yaitu Allah swt, yang mana Allah swt memberikan rizqi tidak membeda-bedakan apakah ini orang muslim, orang mu’min, apakah ini orang kafir, musrik, semuanya diberikan nikmat baik yang hidup di daratan maupun yang hidup di lautan, maka khususnya kita sebagai orang yang beriman maka wajiblah bersyukur karena dengan bersyukur sebagaimana janji-Nya, dalam al-qur’an :
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَئَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ.
Artinya :”Apabila kalian bersyukur amaka kami akan melipatgandakan nikmat”.

Hadirin Yang saya muliakan
Yang ke tiga orang yang akan bahagia itu wabadanun alal balai sobirun, ketiaka kita ditimpa musibah atau cobaan kita harus sobar, karena kita hidup di dunia Allah memberikan kepada kita dua cobaan di antaranya : cobaan yang sifatnya manis, bahagia dan lain sebaginya seperti, mendapatkan uang menjadi PNS, menjadi presiden dan lain sebagainnya, nah dalam hal ini kita akan dicoba apakah kita bisa memegang amanah yang diberikan Allah kepada kita, misalkan harta apakah harta tersebut dipakai kepada hal yang baik ataukah kepada hal yang jelek, dan yang kedua cobaan yang bersifat fahit, seperti sakit, kita jadi fakir miskin dan lain sebaginya, nah dalam hal ini kita harus sabar, karena dengan sabar tersebut insyaallah kita akan bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.
Dan yang terakhir manusia akan bahagia itu, adalah wajazatun latabghihi khaunan finahsiha wala malihi, artinya bahwa seorang suami diberikan wanita yang solehah yang tidak berbuat nusyuz (berbuat jelek kepada suami) pada suaminya yang sehingga istri tersebut benar-benar menjaga kehormatan dan suaminya juga hartanya.
Mungkin itu saja yang bisa saya sampaikan pada kesempatan kali ini, mudah-mudahan bermanfaat dan mohon maaf atas segala kekurangannya.

Rabu, 23 Juni 2010

tiga macam menambah pada hapalan

اَ ْلحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ قَدَّرَ عَلَيْنَا بِالْجَمَاعَةِ وَالصَّلاَ ةُ وَالسَّلاَمُ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللَّهِ وَعَلَي اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَمِنْ تَبِعَهُ اِلَي يَوْمِ الْقِيَامَةِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَنَبِيَّ بَعْدَهُ.أمَّا بَعْدُ.فَيَااَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِالتَّقْوَي االلَّهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ أَعُوْذُ بِا للَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ : يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَي الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ. قَالَ النَّبِيُّ صلعم, رَكْعَتَانِ بِسِوَاكٍ خَيْرٌ مِنْ سَبْعِيْنَ صَلاَةً بِغَيْرِ سِوَاكٍ

Puji takan pernah mati menghiasi hati para insani untuk Allah robul ijati, syukur takan pernah luntur terkubur dalam lubuk hati manusia untuk Allah robul ghofur melainkan marilah kita panjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah meberikan kepada kita berbagai kenikmatan baik nikmat kecil maupun nikmat besar khususnya nikmat iman dan nimat Islam.
Shalawat dan salam marilah kita limpah curahkan kepada baginda kita yang menjadi uswah bagi umatnya a'ni habibana wanabiyana Muhammad SAW, tidak lupa kepada para keluarganya, para sahabatnya, dan tabin-tabiin yang turut setia pada ajarannya sampai hari kiamat termasuk ummatnya. Amiin yaallah ya robal alamin.

Hadirin seiman segama yang sangat saya banggakan
Alhamdulillah pad akesempatan kali ini kita bisa berkumpul, bertatap muka hadir di tempat yang insyaal allah muliakan, mudah-mudahan dengan hadirnya kita di sini mendapatkan rohmat dan magfiroh dari Allah swt, amiin.

Hadirn yang saya hormati
Sebelumnya saya ingin bertanya kepada para hadirin, apakah ibu bapak ingin pintar?apakah ibu ingin punya ilmu?nah pasti jawabannya ingin. yang ke dua apakah ibu bapak ingin menjadi seorang hafid atau penghapal baik hafal al-qur’an atau hadis? Tentu jawabanya ingin, namun untuk mengarah kesana menjadi seorang hafid kita harus memenuhi hal yang diperintahkan oleh agama. Oleh karena itu Insya allah pada kesempatan kali ini saya akan membawakan tema tiga macam yang akan memawa pada hafalan, sebagaimana dalam sebuah kitab nasoihul ibad dikatakan :
عَنْ عَلِيّ كَرَمَ اللَّهُ وَجْهَهُ أَنَّهُ قَالَ ثَلاَثٌ يَزِذْنَ فِي الْحفْظِ وَيُذْهِبْنَ الْبُلْغَمَ اَلسِوَاكُ وَالصَّوْمُ وَ قِرَأَةُ الْقُرْأَنُ
Artinya :”Dari Ali r.a. sesungguhnya dia berkata, bahwa ada tiga macam yang akan menambah dalam hafalan dan akan menghilangkan kokotor tenggorokan, di antaranya satu bersiwak, dua puasa dan ketiga membaca ayat suci al-qur’an.

Hadirin yang sangat saya banggakan
Jadi kata saidina Ali bahwa ada tiga macam yang akan menambah kepada kita pada hafalan, misalkan ingin menghafal al-qur’an, menghafal do’a-do’a dan lain sebaginya terutama nih... ibu atau bapak kan kita sudah menginjak masa muda atau tua, yang namanya menghafal itu cepat hafalnya tetapi cepat lupa, beda dengan anak kecil memang ketika menghafal itu susah tetapi kalau sudah hafal maka akan susah hilangnya, sebagaimana dalam pepatah menyebutkan “
اَلتَّعَلُمُ فِي الصِغَارِ كَنَكْسِ فِي الْحَجَرِ وَالتَّعَلُّمَ فِي الْكِبَارِ كَنَكْسِ عَلَي الْمَاءِ
Artinya :”Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu dan belajar di waktu besar bagai mengukir di atas air”.

Nah bagaimana ibu bapak ingin tahu resepnya ?
Pertama, siwak atau meggosok gigi baik dengan memakai kayu, kain yang kasar dan lainnya, namun yang paling bagus adalah dengan kayu arak yang biasa dimiliki oleh orang-orang yang sudah pulang dari haji karena akan menguatkan gigi kita,
Hadirin yang dimuliakan Allah swt, disamping siwak ini akan menambah hapalan, siwak juga merupakan hal yang biasa dilakukan oleh Rasulullah SAW dan hukumnya sunnat, maka dalam hadits Nabi dikatakan, apabila siwak tidak
سِتَّةٌ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسَلِيْنَ اَلْحَيَاءُ وَالْحِلْمُ وَالْحِجَامَةُ وَالْسِوَاكُ وَالتَّعَطُرُ وَكَثْرَةُ اْلاَزْوَاجُ
Artinya :”Enam macam yang termasuk kebiasaan yang dilakukan oleh para mursalin, pertama malau dalam melakukan kejelekan), dua selalu bersifat aris, ketiga bersiwak, keempat menyedot darah,kelima memakai wangi-wangian dan keenam memperbanyak istri”.

Dan siwak ini bisa dilakukan kapan saja bahkan diharuskan ketika kita mulu kita bau, ketika mau baca al-qur’an, mau tidur, terutama ketika mau melaksankan shalat, baik yang wajib atau yang sunnat, karena dengan siwak ketika kita mau shalat maka padilahnya akan bertambah. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw :
قَالَ صلعم, صَلاَةٌ بِسِوَاكٍ خَيْرٌ مِنْ سَبْعِيْنَ صَلاَةً بِغَيْرِ سِوَاكٍ
Artinya :”Telah berkata Nabi Muhammad SAW, bahwa shalat dengan siwak itu padilahnya lebih baik daripada 70 shalat tanpa bersiwak”
قَالَ النَّبِيُّ صلعم, رَكْعَتَانِ بِسِوَاكٍ خَيْرٌ مِنْ سَبْعِيْنَ صَلاَةً بِغَيْرِ سِوَاكٍ
Artinya :”Dua rakaat dengan siwak padilahnya lebih baik daripada 70 shalat tanpa bersiwak”.
تَسُوْكُوا فَاِنَّ السِوَاكَ مُطْهِرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَبِ
Artinya :”Bersiwaklah kalian ssesungguhnya siwak itu membersihkan mulut dan akan diridoi oleh Allah SWT”.
Dan siwak ini juga fadillahnya akan meambah pada hafalan.

Hadirin yang saya muliakan
Kedua, yang akan menambah hafalan itu adalah puasa, baik yang wajib ataupun sunnat, karena dengan puasa perut kita akan kosong, otomatis kita akan terjaga dari makanan yang haram serta pikiran kita akan terang, maka insyaallah ibu bapak kita akan ditambah dalam hafalan, disamping itu juga puasa ini disyariatkan oleh agama Islam, baik yang wajib maupun yang sunnat, firman Allah dalam al-qur’an :

يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَي الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Artinya :”Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepadamu puasa seperti diwajibkannya puasa kepada orang-orang sebelumkalian agar kamu termasuk orang-orang yang taqwa”.

Hadits Rasulullah SAW, Allah SWT berfirman :
قَالَ النَّبِيُّ صلعم, اَلصَّوْمُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
Artinya :”Telah berkata Nabi Muhammad SAW, bahwa puasa itu untukku dan aku yang akan membalasnya”.

Selain itu juga puasa ada yang sunnat hikmahnya untuk menyempurnakan apabila dalam melaksanakan puasa wajib, seperti puasa senin kamis, bulan rajab, bulan sa’ban, bulan haji (tanggal 1-9 bulan dulhijjah) dan lain sebaginya.

Hadirin yang saya banggakan
Dalam keterangan di atas bahwa puasa itu dianjurkan oleh agama terutama melaksanakan puasa wajib yang dilaksanakan pada bulan ramadhan, dan puasa ini akan membawa kepada keberkahan, menjaga diri dari kemaksiatan, mendapat kebahagiaan baik di dunia maupun diakhirat termasuk akan menambah kepada hafalan.
Yang terakhir para hadirin yang kan menambah hafalan itu adalah membiasakan membaca Al-qur’an, maka dengan seringnya membaca al-qur’an fadilahnya kita akan bertambah dalam hafalan, juga fadilah yang lain akan menjadi penerang di alam kubur, akan mendafatkan syafaat dan sebagai penawar hati ketika kita punya penyakit hati seperti hasud, sombong, iri hati, dan lain sebagainya. Bahkan kalu imannya betul-betul imannya mantaf ketika dibacakan al-qur’an, maka hatinya akan bergetar sebagaimana dirman Allah SWT :
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَي رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
Artinya :”Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah SWT, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”(Q.S. Al-Anfal : 2)

Hadirin yang saya muliakan
Itu saja yang bisa saya sampaikan pada kesempatan kali ini, Jadi kesimpulannya tiga macam yang akan menambah kepada hafalan, pertama bersiwak, kedua puasa dan ketika membaca al-Qur’an.
Dan yang terakhir mudah-mudahan ceramah ini bermanfaat khususnya bagi saya umumnya untuk yang mendengarkan dan mohon maaf kepada para hadirin atas segala kekurangan dan kesalahannya karena yang namanya manusia sudah sunnat tullah tempatnya kesalahan dan kehilafan.


اَلْاِنْسَانُ مَحَلُ الْخَطَاءِ وَالنِسْيَانِ


أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِالتَّقْوَي اللَّهِ
وَ السَّلاَ مُ عَلَيْكُمْ ……

Selasa, 22 Juni 2010

ijtihad sebagai sumber ajaran islam

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM

A. Pengertian Ijtihad
1. Menurut Ahmad bin Ali al-Mugri al-Fayumi menjelaskan bahwa Itihad secara bahasa adalah : “Pengerahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian suatu upaya sampai kepada ujungyang ditujunya”.
2. Menurut al-Syaukani, arti ethimologi Ijtihad adalah : “Pembicaraan mengenai pengerahan kemampuan dalam pekerjaan apa saja.“
3. Menurut al-Qur’an, arti Ijtihad dalam artian jahada terdapat di dalam al-Qur’an surat al-Nahl ayat 38, surat al-Nur ayat 53 dan surat Fathir ayat 42. Semua kata itu berarti pengerahan segala kemampuan dam kekuatan (badzl al-wus’I wa al-thaqoh), atau juga berarti berlebihan dalam besumpah (al-mubalaghat fi al-yamin).
4. Menurut al-Sunnah, kata Ijtihad terdapat sabda nabi yang artinya “pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah (yajtahid) pada sepuluh hari terakhir (bulan ramadhan).
5. Menurut para ulama pengertian Ijtihad secara bahasa mempunyai pendapat yang sama tetapi istilah yang meliputi hubungan Ijtihad dengan fiqih, Ijtihad dengan al-Qur’an, Ijtihad dengan al-Sunnah, dan Ijtihad dengan dalalah nash.
6. Menurut Abu Zahirah, secara istilah, arti Ijtihad adalah “Upaya seorang ahli fiqih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
7. Menurut al-Amidi Ijtihad adalah “Pengerahan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang Zhanni dari hukum-hukum syara.
8. Menurut Ibrahim Hosen bahwa cakupan Ijtihad hanyalah bidang fiqih, dan pendapat yang menyatakan bahwa Ijtihad secara istilah juga berlaku dibidang akidah atau akhlak, jelas tidak bisa dibenarkan.
9. Menurut Harun Nasution, pengertian Ijtihad hanya dalam lapangan fiqih adalah Ijtihad dalam pengertian sempit. Dalam arti luas, menurutnya, Ijtihad juga berlaku dalam bidang politik, akidah, tasawuf, dan filsafat.
10. Ahli tahqiq mengemukakan bahwa ijtihad adalah qiyas untuk mengeluarkan ( istinbat ) hukum dari kaidah-kaidah syara’ yang umum.
11. Hasby Ash-Sidiqy mengemukakan bahwa ijtihad adalah :”menggunakan segala kemampuan untuk mencari suatu hukum dengan hukum Syara’ dengan jalan zhan.
12. Adapun ijtihad dalam keputusan hakim (pengadilan) adalah jalan yang diikuti hakim dalam menetapan hukum, baik yang berhubungan dengan teks undang-undang maupun dengan menginstinbatkan hukum yang wajib ditetapkan ketika ada nash.
Jadi kesimpulan dari pengertian Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hukum syara’ dari dalil – dalilnya.

B. Dasar Hukum Ijtihad
Para fuqoha boleh melakukan Ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Dasar hukum diperbolehkannya melakukan ijtihad antara lain firman Allah Swt :
                   
Artinya :“ Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.”

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari Masjidil Haram, apabila akan shalat dapat mencari dan menentukan arah itu melalui ijtihad dengan mencurahkan akal dan pikirannya berdasarkan indikasi atau tanda-tanda yang ada.
Dalam sebuah hadits Nabi juga dijelaskan Mu’adz bin Jabal ketika diutus menjadi gubernur di Yaman pernah berijtihad dalam memutuskan suatu perkara. Ketika itu Mu’adz ditanya nabi Muhammad SAW :
“ Dengan apa engkau menjatuhakan hukum ?” Mu’adz menjawab,” Dengan kitab Allah (al-Qur’an) jawab Mu’adz “ Rasulullah bertanya lagi “ Kalau engkau tidak dapat keterangan dari Al-Qur’an ?“ Saya menggalinya dari sunnah Rasul.” Rasulullah pun bertanya, “ Kalau engakau tidak mendapati, keteranagna dalam sunnah Rasululloh SAW.?”Mu’adz menjawab,” Saya akan berijtihad dengan akal saya dan tidak akan berputus asa. Rasulullah menepuk pundak Mu’adz bin Jabal menandakan persetujuannya.
Nabi Muhammad SAW.memberikan izin kepada orang yang hendak melakukan ijtihad, bahkan Nabi memberikan dorongan kepada mereka. alau ijtihad itu dilakukan tepat mengenai sasaran maka orang yang berijtihad mendapat dua pahala, apabila tidak dia mendapat satu pahala. Nabi Saw. Bersabda: ”Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencari kebenaran, maka ia mendapat dua pahala . Apabila ia berijtihad kemudian ia tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala ( HR. Bukhori dan Muslim )
Berdasarkan ayat dan hadits tersebut, maka ulama membagi hukum ijtihad dalam tiga macam sebagai berikut :
a. Wajib ‘Ain , bagi seseorang yang ditanya tentang satu peristiwa yang hilang sebelum diketahui hukumnya. Begitu pula apabila peristiwa tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
b. Wajib Kifayah, bagi seseorang yang ditanya tentang suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan akan hilang sementara mujtahid lain selain dirinya.
c. Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu peristiwa yang belum terjadi baik ditanyakan atau tidak .
Dr. Muhammad Madkur di dalam kitabnya Manahiju al-Ijtihad Fi Al-Islam menjelaskan bahwa ijtihad dan berijtihad hukumnya adalah wajib bagi yang telah mengetahui keahlian dan memenuhi syarat-syarat ijtihad.

C. Kedudukan dan fungsi Ijtihad
Kedudukan ijtihad merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al – Qur’an dan As-Sunah. Berijtihad itu sangat berguna sekali untuk mendapatkan hukum syara’ yang dalilnya tidak terdapat dalam Al – Qur’an maupun hadits dengan tegas.
Ditinjau dari fungsi ijtihad, ijtihad itu perlu dilaksanakan :
a. Pada suatu peristiwa yang waktunya terbatas, sedangkan hukum syara’ yang mengenai peristiwa sangat diperlukan, dan juga tidak segera ditentukan hukumnya, maka dikhawatirkan kesempatan menentukan hukum itu akan hilang .
b. Pada suatu peristiwa diperlukan hukum syara’ di suatu daerah yang terdapat banyak para ahli ijtihad, sedang waktu peristiwa itu tidak mendesak maka hal yang semacam itu perlu adanya ijtihad, karena dikhawatirkan akan terlepas dari waktu yang ditentukan.
c. Terhadap masalah-masalah yang belum terjadi yang akan kemungkinan nanti akan diminta tentang hukum masalah-masalah tersebut, maka untuk ini diperlukan ijtihad.

D. Macam-macam Ijtihad
Secara garis besar ijtihad dibagi kedalam dua bagian, yaitu ijtihad Fardhi dan Jami’i.
a. Ijtihad fardhi adalah : ”Setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang, namun tidak ada keterangan bahwa semua mujtahid lain menyetujuinya dalam suatu perkara ( Tasyri’ Islami: 115)
Ijtihad yang semacam inilah yang pernah dibenarkan oleh Rasul kepada Mu’adz ketika Rasul mengutus beliau untuk menjadi qodhi di Yaman.
a. Ijtihad Jami’i adalah : ”Semua ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua mujtahidin.” ( Ushulu Tasyri’ :116 )
Ijtihad semacam ini yang dimaksud oleh hadits Ali bin Abi Thalib pada waktu beliau menanyakan kepada Rasul tentang suatu urusan yang menimpa masyarakat yang tidak diketemukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ketika itu Nabi bersabda : ”Kumpulkanlah orang-orang yang berilmu dari orang-orang mukmin untuk memecahkan masalah itu dan jadikanlah hal itu masalah yang dimusyawarahkan diantara kamu dan janganlah kamu memutuskan hal itu dengan pendapat orang seorang.” ( H.R. Ibnu Abdil Barr )
Disamping itu, Umar bin Khatab juga pernah berkata kepada Syuraikh : ”Dan bermusyawarahlah ( bertukar pikiran ) dengan orang-orang yang saleh.”

E. Syarat - syarat Mujtahid
a. Mengetahui isi Al-Qur’an dan hadits yang bersangkutan denagn hokum itu, meskipun tidak hapal diluar kepala.
b. Mesti mengetahui bahasa arab dengan alat-alat yang berhubungan dengan itu seperti Nahwu, Shorof, Ma’ani, Bayan, Bad’i, agar dengan ini mentafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an atau As-Sunnah dengan cara berfikir dengan benar.
c. Mesti mengetahui ilmu usul fiqh dan qoidah-qoidah fiqh yang seluas-luasnya, karena ilmu sebagai dasar berijtihad.
d. Mesti mengetahui soal-soal ijma’, hingga tiada timbul pendapat yang bertentangan dengan ijma’ itu.
e. Mesti mengetahui nasikh mansukh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
f. Mengetahui ilmu riwayat dan dapat membedakan: mana hadits yang sahih dan hasan, mana yang dhoif, mana yang maqbul dan mardud.
g. Mengetahui rahasia-rahasia tasyri’i ( asrarusy syari’ah) yaitu qoidah-qoidah yang menerangkan tujuan syara’ dalam meletakan beban taklif kepada mukallaf.

F. Tingkat kekuatan Ijtihad
Al-‘Allamah Abdullah Darraz mengatakan bahwa : “Ijtihad adalah menghabiskan seluruh kemampuan dan memeberikan segala kekuatan pikiran. Hal itu dilaksanakan untuk memperoleh hukum syar’i dan menerapkannya yakni menetapkan hukum yang telah ditetapkan atas tiap-tiap kaidah, seperti menetapkan kaidah segala yang tidak dilarang syara’. Ijtihad ( memperoleh hukum ) hanya dapat dilaksanakan oleh ulama – ulama yang mempunyai keahlian yang sempurna dalam urusan ijtihad. Ijtihad mentatbiqkan hukum dan seluruh orang yang memiliki ilmu yang sudah dalam tentu dapat mengerjakannya. Dan disepakati bahwa ijtihad ini tiada putus – putusnya sepanjang zaman.”
Seorang ahli fiqh yang menghabiskan tenaga dan pikirannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap suatu hukum agama dengan jalan istinbat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau dari suatu dalil yang dibenarkan syara’, dinamai mujtahid.
Ringkasnya ijtihad itu ada dua tingkatan :
a. Ijtihad Darakil Ahkam ( menghasilkan hukum yang belum ada )
b. Ijtihad Tatbiqil Ahkam ( menerapkan hukum atau kaidah atas tempat yang menerimanya)






























PENUTUP

Puji syukur ke Hadirat Allah Swt. yang telah memberikan segala kenikmatan baik nikmat Iman maupun Islam dan sehat wal’afiyat sehingga kami dapat meyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda alam, yakni Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga-Nya , sahabat-Nya, dan kita sebagai umat-Nya.
Kami sebagai penyusun makalah ini mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaiknnya makalah ini, terutama kepada dosen mata kuliah Ushul Fiqh II yang telah memberikan sebagian ilmunya untuk penyusunan makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi amal shaleh bagi seluruhnya. Amin.
























DAFTAR PUSTAKA
.



































DAFTAR ISI
.
KATA PENGATAR ………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………. ii

A. Pengertian Ijtihad ………………………………………………………………. 1
B. Dasar Hukum Ijtihad ………………………………………………………........ 2
C. Kedudukan Dan Fungsi Ijtihad ……………………………………………........ 3
D. Macam-macam Ijtihad …………………………………………………………. 3
E. Syarat-syarat Mujtahid …………………………………………………………… 4
F. Tingkat Kekuatan Ijtihad ……………………………………………………….. 4
PENUTUP ………………………………………………………………………… 6
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………… 7

























IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
RESUME

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Fiqh II












Di susun oleh :
NAMA : ASEP SARIFUDIN
KELAS : IIA
FAK./JUR. : TARBIYAH / PAI

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG
SINGAPARNA TASIKMALAYA
2007
KATA PENGANTAR

Puji syukur bagi Allah SWT, Tuhan pencipta alam semesta raya. Shalawat dan Salam semoga terlimpah curahkan kepada jungjunan kita Nabi Muhammad SAW dan tidak lupa kepada para keluarga-Nya, sahabat-Nya yang setia dan patuh pada ajaran-Nya.
Berkat rahmat dan hidayat-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik, dan kami ucapkan banyak terima kasih kepada Dosen mata kuliah dan kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan untuk dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun diantara maksud dan tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Ushul Fiqh II”.
Akhirnya kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan makalah ini bukanlah akhir, tetapi langkah awal yang masih banyak memerlukan perbaikan di masa yang akan datang dan kami mengharapkan keritik dan sarannya yang membangun dari berbagai pihak, harapan dan do’a kepada Allah Swt. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan senantiasa berada dalam keridhoan Allah SWT. Amiin.



Tasikmlaya, Januari 2007
Penulis







ikhtlaf dan ijtihad

I. IKHTILAF

A. Pengertian Dan Daerah Tempat Terjadi Ikhtilaf.
Masalah ikhtilaf merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Diantara maslah khilafiah tersebut, ada yang menyelesaikannya dengan cara yang sangat sederhana dan mudah, karena ada saling pengertian berdasarkan akal sehat. Akan tetafi dibalik itu masalah khilafiah dapat menjadi ganjalan untuk menjalin keharmonisan dikalangan ummat islam karena sikap ta’ asubiyah (fanatic) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan akal sehat dan sebagainya. Dari uraian diatas dapat dipahami, bahwa masalah khilafiah adalah masalah yang selalu aktual dalam realitas kehidupan manusia, karena ada daya berpikir yang dimiliki, yang berakibatkan orang berpikir dinamis pula dalam menetapkan suatu hukum.
Adapun yang menjadi daerah tempat terjadinya ikhtilaf dalam garis besar terdapat pada :
1. Ayat-ayat al-Quran yang Zhanniyatul dalalah.
2. Hadist-Hadist yang Zhanniayatul dalalah dan zhanniyatul wurud
3. masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang belum ada ketentuannya hukumnya dalam nash (al-Quran dan sunnah)

B. Pokok-Pokok Sebab terjadi Ikhtilaf
Iktilaf dikalangan ummat islam telah terjadi pada masa sahabat, karena perbedaan paham di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yangs ampai pada mereka.
Hal yang terjadi karena pengetahuan mereka dalam masalah hadist tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hokum dan berlainan tempat.
Perbedaan pendapat dikalangan ummat ini, sampai kapan pun dan ditempat mana pun akan terus berlangsung dan hal ini menunjukan kedinamisan hukum islam, karena pola pikir manusia terus berkembang.
Diantara sebab-sebab pokok terjadi ikhtilaf dikalangan para ulama (Mujtahidin) adalah sebagai berikut :
1. Diantara para Ulama ada yang berpandangan yang terlalu berlebihan terhadap amaliah-amaliah yang disunatkan,sebagai orang awam menganggapnya suatu amaliyah yang diwajibkan dan berdosa apabila ditinggalkan.
2. Diantara ulama dan ummat Islam, ada yang kurang memperhatikan situasi pada waktu Nabi bersabda, apakah ucapan beliau berlaku untuk umum atau untuk orang tertentu saja. Apakah perintah itu untuk selama-lamanya atau bersifat sementara.
3. Kedudukan suatu hadist. Karena hadist-hadist yang dating dari rosullullah itu melewati banyak jalan, maka terkadang menimbulkan perbedaan antara riwayat yang satu dan yang lainnya, bahkan bias juga berlawanan.
4. Para ulama dalam menetapkan sutau hukum tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan tidak sama dalam penggunaan sumbernya.





























II. IJTIHAD
A. PENGERTIAN IJTIHAD

Ijtihad ialah : mencurahkan segalanya tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’) melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil syara’ dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran denagn kamauan sendiri semata-mata dan tersebut tidak dinamakan ijtihad. Dengan demikian berarti bahwa objek ijtihad adalah nash-nash yang sifat zhanni ataupun yang tidak ada nashnya sama sekali. Hal ini juga berarti, bahwa ijtihad adalah lebih luas dari qiyas.

B. FIQH SEBAGAI HASIL IJTIHAD
Istilah fiqh sebenarnya telah muncul pada masa permulaan islam. Namun istilah tersebut pada masa itu berbeda dengan istilah yang kenal pada masa sekarang. Pada masa nabi fiqh belum berkembang, karena segala permasalahan yang dihadapi ummat Islam bias segera dihadapi diselesaikan oleh Nabi tanpa harus melakukan penelaahan ijtihad atau dengan pemikiran kreatif para sahabat yang memperoleh pengesahannya.
Pada masa sahabat ketentuan hukum dikeluarkan sesuai dengan tuntutan masyarakat, dan disamping memperhatikan jiwa ajaran yang terdapat dalam nash, mereka juga mengorientasikan pada kepentingan kemaslahatan ummat. Oleh karena itu, corak pambahasan fiqh pada masa itu merupakan pembahasan yang berusaha menjawab tuntutan masyarakat dan menyusun fatwa-fatwa fiqh secara teoritis. Diantara para sahabat yang banyak mengeluarkan fatwa adalah Umar bin Khattab, yang kadang dianggap sebagaian orang menyalahi nash yang ada. Misalnya beliau menolak memberikan akat kepada mualaf, menambah hukuman peminun khamar dari 40 kali menjadi 80 kali.
Abu hanifah (80-150 H). Umpamanya banyak mengeluarkan fatwa dengan memperhatikan kepentingan sosiologi yang banyak dipengaruhi oleh kondisi masyarakat kuffah.



C. DASAR DASAR IJTIHAD
Sebagai landasan dasar Ijtihad adalah :

1. Al-Quran,




“ hai orang orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul-Nya, dan orang-orang yang memegang kekuasaan (ulil amri) di antara kamu. Kemudian apabila kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikan ia kepada Allah (jiwa Al-Quran) dan Rosul (jiwa Sunah Nabi)”. ( QS. An-Nisa : 59).
Orang tidak akan bertengkar atau berbeda pendapat, apabila nashnya sudah jelas ada dan terang pula maksudnya, seperti kewajiban kewajiban melakukan shalat lima waktu, mengerjakan puasa Ramadhan dan kewajiban-kewajiban lainnya. Kemudian walaunpun ada nashnya tetapi masih terlihat sama-samar, maka hal ini pundapat menimbulkan perbedaan pendapat apalagi yang tidak ada nashnya sama sekali, lebih besar lagi kemungkinan terjadi perbedaan pendapatnya.
2. As-sunnah
3. Dalil Aqli (rasio)
Sebagaimana diketahui, bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Adalah agama yang terakhir, ynag akan berlaku untuk sepajang masa, sedangkan kejadian-kejadian yang dihadapi oleh manusia cukup banyak dan akan terus bermunculan dan semua peristiwa itu memerlukan ketentuan hokum. Andaikata Ijtihad tidak dibenarkan dalam menetapkan suatu hokum, sedangkan nash-nash yang ada terbatas jumlahnya, karena wahu Allah tidak akan turun lagi dan sabda Nabi pun tidak akan ada tambahannya, maka manusia ini akan mengalami kesulitan dalam menentukan hokum mengenai suatu peristiwa. Untuk mengatasi hal yang semacam itu harus ada jalan keluarnya, yaitu ijtihad sebagaimana yang telah dicontohkan oleh imam mujtahid.

D. HUKUM IJTIHAD
Sebagian puqaha berpendapat, bahwa berijtihad itu hukumnya wajib dan diantara alasannya yang dikemukakan ialah ;
1. Al-Quran
Firman Allah yangtelah dikemukakan diatas, yaitu surat an-Nisa: 59, dan dalam ayat lain Allah berfirman :


“ Maka ambilah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan. (QS. Al-Hasyr:2)
Berdasarkan ayat yang kedua ini, maka bagi orang-orang yang ahli memahami dan merenungkan sesuatu, diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal ini berarti mengharuskan mereka untuk berijtihad.
2. Sunnah
Hadist Mu’adz bin jabal yang telah dikemukakan diatas, dapat juga dijadikan dalil ijtihad, karena secara langsung atau tidak, Nabi Muhammad telah merestui apa yang telah dipikirkan oleh mu’adz tersebut.
Nabi juga Bersabda:



“ Apabila seorang hakim memutuskan perkara dengan berijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, maka ia mendapatkan dua pahala. Jika menetapkan hukum itu tidak benar ijtihadnya, maka ia mendapat satu pahala.” (HR. Bukhori dan Muslim).







III.
POLA PEMIKIRAN DAN DASAR HUKUM IMAM-IMAM MAZHAB

Para Imam Mujtahid seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Imam Ahmad Bin Hambali, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh sebagian besar ummat Islam. Bagi ilmuwan Mazhab yang empat itu, juga mereka kenal seperti: Imam daud az-Zahiri, Imam Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Imamiyah dan Imam Mujtahid lainnya. Akan tetapi untuk mengetahui pola pemikiran masing-masing cenderung hanya ingin mendalami madzhab tertentu saja. Hal ini disebabkan karena pengaruh lingkungan atau karena ilmu yang diterima hanya dari ulama/ guru yang menganut suatu madzhab saja.
Dibawah ini akan dikemukakan beberapa tokoh Imam mazhab:
A. IMAM HANAFI
Imam hanafi dilahirkan dikota kufah pada tahun 80 H(699 M). Nama beliau sejak kecil ialah Nu’man Bin Tsabit bin Zauth Bin Mah. Ayah beliau dilahirkan keturunan dari bangsa persi (Kabul Afganistan) yang sudah menetap di Kupah.
Beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena diantara putranya ada yang bernama Hanifah. Imam Hanafi dikenal sangat rajin menuntut ilmu. Semua ilmu yang bertalian dengan keagamaan, beliau pelajari. Pengakuan imam maliki dan Imam syafi’i mengenai kepandaian Imam Hanafi dalam masalh Fiqh, sudah cukup dijadikan alasan, bahwa betapa luas pandnagan beliau dalam mengulas hokum-hukum islam.
Dalam mengistinbatkan suatu hukum, beliau terlebh dahulu melihat kepada kitabullah, dan bila tidak ditemukan, dilihat pada sunnah Rosullah, bila tidak ditemukan pula, beliau melihat perlataan para sahabat, lalu beliau ambil pendapat yang sesuai dengan jalan pikiran beliau.
Sebagai dasar yang beliau dalam menetapkan suatu hokum adalah:
 Al-kitab - Al-Isthisan
 As-sunnah - Urf
 Ahwalus shohabah
 Al-Qiyas
B. IMAM MALIKI BIN ANAS (93 H-179 H)
Imam Maliki dilahirkan di kota Madinah daerah negeri Hijaz pada tahun 93 H (721 M). nama Beliau adalah Maliki bin Abi Amir. Salah seorang kakeknya dating ke Madinah lalu bediam disana.
Beliau mempelajari ilmu pada Ulama-ulama Madinah, diantara para Tabi’in, para cerdik pandai dan para ahli hokum Agama. Guru beliau yang bernama Abdur Rahman ibnu Hurmuz, belaiu dididik ditengah-tengah mereka itu sebagai anak yang cerdas pikiran, cepat menerima pelajaran, kuat ingatan dan teliti.
Kepandaian beliau tentang ilmu Hadist dapat diketahui melalui pengakuan para ahli hadist, diantaranya Imam Abdu Rahman bin Mahdi Berkata: “ saya belum pernah mendahulukan seorang pun tentang shahihnya hadist dari pada Imam Maliki”. Beliau juga berkata “Tidak ada dimuka bumi ini seorang pun pada masa itu yang lebih dipercayai tenyang hadist selain Imam Maliki”.
Dalam suatu riwayat dikatakan,bahwa Imam Maliki menghimpun hadist Nabi selama empat puluh tahun dan dalam suatu riwayat ada yang menaytakan bahwa Imam Maliki telah hafal 100.000 hadist dan beliaulah yang paling hafal hadist Nabi.
Dasar-dasar hokum yang diambil dan dipergunakan oleh imam Maliki dapat disimpulkan sebagi berikut :
 Kitab Allah (al-Quran)
 Sunnah rasul yang telah beliau pandang sah
 Ijma para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadist apabila ternyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama Madianh.
 Qiyas
 Istishlah (Mashalihul Mursalah) adalah mengekalkan apa yang telah ada karena suatu hal yang belum diyakini. Adapun Mashalihul Mursalah ialah memelihara tujuan-tujuan ayara’ denagn jalan menolak sagala sesuatu yang merusak makhluk.




C. IMAM SYAFI’I
Imam syafi’I dilahirkan di Guzzah suatu kampung dalam jajahan palestina, masih wilayah Asqalan pada tahun 150 H (767 M), bersamaan dengan Wafatnya Imam Hanafi. Kemudian ibnu Ustman ibn syafi’I al-Mutholibi dari keturunan Muthalib Bin Abdi Manaf.
Kecerdasan syafi’I dapat kita ketahui melalui riwayat-riwayat yang mengatakan, bahwa Imam Syafi’I pada usia 10 tahun sudah hafal dan mengerti kitab Al-Muwatha’ kitab Imam Maliki. Karena itulah ketika ilmu hadist imam sopyan bin uyainah, beliau sangat dikagumi oleh guru besar ini dan selanjutnya beliau dapat menempuh ujian ilmu hadist serta lulus mendapat ijazah tentang ilmu hadist daari guru besar tersebut.
Semenjak itu pula orang orang mulai berdatangan kepada Imam syafi’I dan yang berdatangan bukan itu bukanlah orang sembarangan tetapi terdiri dari pad Ulama, ahli sya’ir, ahli kesusastraan arab, dan orang-orang terkemuka, karena dada beliau pada waktu itu telah penuh dengan ilmu-ilmu.
a. Dasar-dasar hukum yang dipaki oleh Imam Syafi’i
Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai Imam syafi’I sebagai acuan pendapatnya termaktub dalam kitab ar-Risalah sebagai berikut:
1. Al-Quran, beliau mengambil dengan makna(arti) yang lahir kecuali didapati alasan yang menunjukan bukan arti yang lahir itu, yang harus dipakai atau dituruti.
2. As-sunnah, beliau mengambil Sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang Ahad pun diambil dan dipergunakan untuk menjadi dalil, asal telah mwncukupi syarat-syaratnya, yakni selama perawi hadist itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
3. Ijma, dalam arti, bahwa para sahabat semuanya telah menyepakatinya. Disamping itu beliau berpendapat dan meyakini, bahwa kemungkinan ijma dan pesesuaian paham bagi segenap ulama itu, tidak munghkin karena berjauhan tempat tinggal dan sukar berkomunikasi.
4. Qiyas, Imam Syafi’I memakai Qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum diatas tidak tercantum, juga dalam keadaan memaksa.
5. Istidlal, Maulana Muhammad ali dalam bukunya Islamologi menagtakan bahwa Istidlal makna aslinya menarik kesimpulan suatu barang dari barang lainnya.
Oleh karena itu Imam syafi’I memakai jalan istidlal denagn mencari alasan atas kaidah-kaidah agama ahli kitab yang terang-terangan tidak dihapus oleh al-quran. Setrusnya beliau tidak mau mengambil hukum denagn jalan Istihsan. Imam Syafi’I berpendapat mengenai Istihsan ini sebagai berikut: “barang siapa menetapkan hukum denagn Istihsan berarti ia membuat syariat sendiri.

Pendapat imam abu hanifah

IMAM ABU HANIFAH
(80-150 H/699-767 M)

Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, adalah Abu Hanifah An-Nukman Bin Tsabit Bin Zufli At-Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian hubungan kekeluargaan dengan Imam Ali Bin Abi Thalib ra. Imam Ali bahkan pernah berdoa bagi Tsabit, yakni agar Allah memberkahi keturunannya. Tak heran, jika kemudian dari keturunan Tsabit ini, muncul seorang ulama besar seperti Abu Hanifah.
Dilahirkan di kufah pada tahun 150 H/ 699 M, kemudian pada masa pemerintahan Al-qalid Bin Abdul Malik, Abu Hanifah selanjutnya menghabiskan masa kecilnya dan tumbuh menjadi dewasa di sana. Sejak masih kanak-kanak, beliau telah mengaji dan menghafal Al-Qur’an. Beliau dengan tekun senantiasa mengulang-ulang bacaannya, sehingga ayat suci tersebut tetap terjaga dengan baik dalam ingatanya, sekaligus menjadikan beliau lebih mendalami makna yang dikandung ayat-ayat tersebut. Dalam hal pemperdalam pengetahuannya tentang Al-qur’an beliau sempat berguru kepada Imam Asin, seorang ulama terkenal pada masa itu.
Selain pemperdalam Al-Qur’an, beliau juga aktif mempelajari Ilmu Fiqih. Dalam hal ini kalangan sahabat Rasul, diantaranya kepada Anas Bin Malik, Abdulah Bin Aufan, dan Abu Tufail Amir, dan sebagainya. Dari mereka, beliau juga mendalami Ilmu Hadits.
Keluarga Abu Hanifah sebenarnya adalah keluarga pedagang. Beliau sendiri sempat terlibat dalam usaha perdagangan, namun hanya sebentar sebelum memusatkan perhatian kepada soal-soal keilmuan.
Beliau juga dikenal sebagai orang yang sangat tekun dalam pempelajari ilmu. Sebagai gambaran, beliau pernah belajar fiqih kepada ulama yang paling terpandang pada masa itu, yakni Humad Bin Abu Sulaiman, tidak kurang dari 18 tahun lamanya. Setelah wafat gurunya, Imam Abu Hanifah kemudian mulai mengajar di banyak majlis ilmu di Kufah.
Sepuluh tahun sepeninggal gurunya, yakni pada tahun 130 H. Imam Abu Hanifah pergi meninggalkan Kufah menuju Makkah. Beliau tinggal beberapa tahun lamanya disana, dan ditempat itu pula beliau bertemu dengan salah seorang murid Abdullah bin Abbas ra.
Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu dan sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau tidak tertarik pada jabatan-jabatan resmi kenegaraan, sehingga beliau pernah menolak tawaran sebagai hakim (Qadhi) yang ditawarkan oleh Al Mansur. Konon, karena penolakannya itu kemudian beliau dipenjarakan hingga akhir hayatnya.
Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/ 767 M, pada usia 70 tahun. Beliau dimakamkan dipekuburan Khizra. Pada tahun 450 H/ 1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang diberi nama Jami’ Abu Hanifah.
Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak. Di antara murid-murid Abu Hanifah yang terkenal adalah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarak, Waki bin Jarah Ibn Hasan al Syaibani dan lain-lain. Sedang diantara kitab-kitab Imam Abu Hanifah adalah : Al Musuan (Kitab Hadis, dikumpulkan oleh muridnya), al Makharij (buku ini dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah, diriwayatkan oleh Abu Yusuf) dan Fiqih Akbar (kitab fiqh yang lengkap).






IMAM MALIK BIN ANAS
(93 – 179 H/ 712 – 795 M)

Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. beliau berasal dari Kabilah Yamniah. Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majlis-majlis ilmu pengetahuan, sehingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal al qur’an. Tak kurang dari itu, ibundanya sendiri yang mendorong Imam Malik untuk senantiasa giat menuntut ilmu.
Pada mulanya beliau belajar dari Ribiah, seorang Ulama yang sangat terkenal pada waktu itu, beliau juga memperdalam Hadits kepada Ibnu Syihab, disamping juga mempelajari ilmu fiqih dari para sahabat.
Karena ketekunan dan kecerdasannya, Imam Malik tumbuh sebagai seorang ulama yang terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hadits dan fiqh. Bukti atas hal itu, adalah ucapan Al-Dahlami ketika dia berkata : “Malik adalah orang yang paling ahli dalam bidang hadits di Madinah, yang paling mengetahui tentang keputusan-keputusan Umar, yang paling mengerti tentang pendapat-pendapat Abdullah bin Umar, Aisyah ra, dan sahabat-sahabat mereka, atas dasar itulah dia memberi fatwa. Apabila diajukan kepada suatu masalah, dia menjelaskan dan memberi fatwa.
Setelah mencapai tingkat yang tinggi dalam bidang ilmu itulah, Imam Malik mulai mengajar, karena beliau merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuannya kepada orang lain yang membutuhkan.
Meski begitu, beliau dikenal sangat hati-hati dalam memberi fatwa. Beliau tak lupa untuk terlebih dahulu meneliti hadis-hadis Rasulullah saw, dan bermusyawarah dengan Ulama lain, sebelum kemudian memberikan fatwa atas suatu masalah. Diriwayatkan, bahwa beliau mempunyai tujuh puluh orang yang bisa diajak bermusyawarah untuk mengeluarkan suatu fatwa.
Imam Malik dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Pernah, beliau mendengar tiga puluh satu hadis dari Ibn Syaihab tanpa menulisnya. Dan ketika kepadanya meminta mengulanginya seluruh hadis tersebut, tak satupun dilupakannya. Imam Malik benar-benar mengasah ketajaman daya ingatnya, terlebih lagi karena pada masa itu masih belum terdapat suatu kumpulan hadis secara tertulis. Karenanya karunia tersebut sangat menunjang beliau dalam menuntut ilmu.
Selain itu, beliau dikenal sangat ikhlas di dalam melaksanakan sesuatu, sifat inilah kiranya memberikan kemudahan kepada beliau di dalam mengkaji ilmu pengetahuan. Beliau sendiri pernah berkata “Ilmu itu adalah cahaya ; ia akan mudah dicapai dengan hati yang takwa dan khusyu”. Beliau juga menasehatkan untuk menghindari keraguan, ketika beliau berkata : “Sebaik-baik pekerjaan adalah yang jelas. Jika engkau menghadapi dua hal, dan salah satunya meragukan, maka kerjakan yang lebih meyakinkan menurutmu”.
Karen sifat ikhlasnya yang besar itulah Imam Malik tampak enggan memberi fatwa yang berhubungan dengan soal hukuman. Seorang muridnya, Ibnu Wahab, berkata : ”Saya mendengar Imam Malik (jika ditanya mengenai hukuman), beliau berkata: ini adalah urusan pemerintahan.” Imam Syafi’i sendiri pernah berkata: “Ketika aku tiba di Madinah, aku bertemu dengan Imam Malik. Ketika mendengar suaraku, beliau memandang diriku beberapa saat, kemudian bertanya: Siapa namamu? Akupun menjawab: Muhammad! Dia berkata lagi: wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah, jauhilah maksiat karena ia akan membebanimu terus, hari demi hari”.
Tak pelak, Imam Malik adalah seorang ulama yang sangat terkemuka, terutama dalam ilmu hadits dan fiqih. Beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam kedua cabang ilmu tersebut. Imam Malik bahkan telah menulis kitab Al-Muwaththa, yang merupakan kitab hadis dan fiqh.
Imam Malik meninggal dunia pada usia 86 tahun. Namun demikian, Mazhab Maliki tersebar luas dan dianut dibanyak bagian di seluruh penjuru dunia.
















IMAM SYAFI’I
(150-204 H/69-820 M)

Imam Syafi’i, yang dikenal sebagai pendiri Mazhab Syafi’i adalah Muammad bin Idris Asy-Syafi’i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghazzah, pada tahun 150 H, bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah.
Meski di besarkan dalam keadaan yatim dan dalam satu keluarga yang miskin, tidak menjadikan beliau merasa rendah diri, apalagi malas. Sebaliknya beliau bahkan giat mempelajari hadits dari ulama-ulama hadits yang benyak terdapat di Mekkah. Pada usia yang masih kecil, beliau telah hafal Al-Qur’an.
Pada usia yang ke-20, beliau meninggalkan Mekkah mempelajari ilmu fiqh dari Imam Malik. Merasa masih harus memperdalam pengetahuannya, beliau kemudian pergi ke Iraq, sekali lagi pempelajari fiqh, dari murid Imam Abu Hanifah yang masih ada. Dalam pengetahuannya tersebut, beliau juga semangat mengunjungi Persia, dan beberapa tempat lan.
Setelah wafat Imam Malik (179 H), beliau kemudian pergi ke Yaman, menetap dan mengajarkan ilmu di sana, bersama Harun Al-Rasyid, yang telah mendengar tentang kehebatan beliau, kemudian meminta beliau untuk datang ke Baghdad. Imam Syafi’i memenuhi undangannya tersebut. Sejak saat itu beliau dikenal secara luas, dan banyak orang belajar kepadanya. Pada waktu itulah mazhab beliau mulai dikenal.
Tak lama setelah itu, Imam Syafi’i kembali ke Mekkah dan mengajar rombongan jamaah haji yang datang dari berbagai penjuru. Melalui mereka inilah, Mazhab Syafi’i menjadi tersebar luas ke penjuru dunia.
Pada tahun 198 H, beliau pergi ke negri Mesir. Beliau mengajar di masjid Amur bin As. Beliau juga menukis kitab Al-Um, Amali Qubra, kitab risalah, ushul al-fiqh, dan memperkenalkan qaul jadid sebagai mazhab baru. Adapun dalam hal menyusun kitab ushul fiqh, Imam Syafi’i dikenal sebagai orang pertama yang mempelopori penulisan dalam bidang tersebut.
Di mesir inilah akhirnya Imam Syafi’i, telah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak orang. Kitab-kitab beliau hingga kini masih dibaca orang, dan makam beliau di mesir sampai detik ini masih ramai di ziarah orang. Sedang murid-murid beliau yang terkenal, diantaranya adalah: Muhammad Bin Abdullah Bin Al-Hakam, Abu Ibrahim Bin Ismail Bin Yahya Al-Muzani, Abu Ya’qub Yusuf Bin Yahya Al-Buwaiti dan sebagainya.


IMAM AHMAD HAMBALI
(164-241 H /780-855 M)

Imam Ahmad Hambali adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambali bin Hilal Al-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad pada Bulan Rabiul Awal tahun 164 H (780 M).
Ahmad bin Hambal dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya, karena ayahnya meninggal ketika masih bayi. Sejak kecil beliau telah menunjukan sifat dan pribadi yang mulia, sehingga menarik simpati banyak orang. Dan sejak kecil itu pula beliau telah menunjukan minat yang besar kepada ilmu pengetahuan, kebetualan pada saat itu baghdad merupakan kota pusat ilmu pengetahuan. Beliau memulai belajar menghafal al-qur’an, kemudian belajar bahasa arab, hadits, sejarah nabi dan sejarah sahabat serta para tabi’in.
Untuk memperdalam ilmu, beliau pergi ke Basrah untuk beberapa kali, di sanalah beliau bertemu dengan Imam Syafi’i. beliau juga pergi menuntut ilmu ke Yaman dan Mesir. Di antaranya guru beliau yang lain adalah Yusuf al-Hasan bin Zaid, Husyaim, Umair ibn Humam dan Ibn Abbbas. Imam Ahmad bin Hambal banyak mempelajari dan meriwayatkan hadits, dan beliau tidak mengambil hadits, kecuali hadits- hadits yang sudah sahihnya. Oleh kerena itu, akhirnya beliau berhasil mengarang kitab hadits, yang terkenal dengan nama Musnad Ahmad Hambali. Beliau mulai mengajar ketika usia empat puluh tahun.
Pada masa pemerintahan al Muktasim-Khalifah Abbasiyah beliau sempat dipenjara karena sependapat dengan opini yang mengatakan bahwa al-qur’an adalah makhluk. Beliau dibebaskan pada masa Khalifah al-Mustawakkil.
Imam Ahmad Hambali wafat di baghdad pada usia 77 tahun atau tepatnya pada tahun 241 H (855 M) pada masa pemerintahan khalifah al-Wathiq. Sepeninggalan beliau, Mazhab Hambali berkembang luas dan menjadi salah satu mazhab memiliki banyak penganut.